Review Identitas Politik Pak Kunto (2)
Objektivikasi menempati tangga tersendiri dari sekian gagasan Kuntowijoyo. Dia berulang kali menandaskan bahwa dengan objektivikasi, niscaya umat Islam terhindar dari sekularisasi dan dominasi. Mengingat, Islam adalah agama mayoritas di negeri ini, sehingga berpotensi mendominasi. Mengingat, umat Islam terkurung dalam peradaban materialis, sehingga terbuka dari arus sekularisasi.
Objektivikasi adalah perbuatan rasional nilai yang diwujudkan ke dalam tindakan rasional. Memang, sama-sama berangkat dari internalisasi, tapi tujuan objektivikasi ke luar, sementara eksternalisasi ke dalam, kepada sesama muslim.Dari paparan itu, kehadiran partai-partai (terutama yang berbasis agama, Islam salah satunya) patut dikritisi. Partai adalah gejala objektif, sebagai penyalur aspirasi, sebagai perantara kepentingan. Maka, hanya kepada partai yang sanggup memainkan politik cerdas, umat mengarahkan perhatian. Sebab, hubungan partai dan umat sejatinya hanya bersifat instrumental dan sementara.
Instrumental, artinya kalau partai tidak lagi dapat menampung aspirasi politik, umat bisa meninggalkannya. Sementara, artinya kesetiaan umat hanya untuk satu pemilu dan kemudian umat mengadakan evaluasi.
Sehingga, pola-pola lama seperti adanya basis-basis pemilih di daerah tertentu untuk partai tertentu, bahwa umat diharuskan berpihak pada partai tersebut, adalah sisa-sisa tindakan irasional. Tidak mendinamiskan masyarakat. Tidak mencerdaskan umat.
Agama, apa pun itu termasuk Islam, adalah kekuatan sejarah yang lebih langgeng ketimbang negara dan partai. Maka, agamalah yang berhak menentukan partai sebagai instrumen, tidak sebaliknya, partai yang memanipulasi agama, partai menggadaikan agama, dan partai sekadar memungut suara umat. Sekali lagi, partai adalah alat, oleh karenanya tidak sepatutnya menjadikan agama, yang dari sononya bersifat awet, sebagai penggelembung suara semata.
Dengan demikian, para politisi muslim seyogianya paham, bahwa keberadaan partai, sebagaimana institusi negara, tidak untuk mengeksternalisasi Islam. Islam adalah rahmat, bukan ancaman. Partai bukan tempat eksternalisasi, melainkan objektivikasi. Partai bukan sarana “dakwah”.
Nah, kebutuhan mendesak guna mendukung proyek objektivikasi, pertama, digantikannya conspiration theory dengan factual analysis. Teori persekongkolan akibat pengalaman pahit masa lalu, saat periode marjinalisasi Islam (1970-1990), harus cepat-cepat dienyahkan. Umat harus menyingkirkan jauh-jauh kecurigaan macam: “Siapa berada di belakangnya? Siapa yang dituju? Arahnya ke mana? Sekarang begini, besok pasti itu! Dan akal-akalan apa lagi ini!”
Teori persekongkolan adalah su’uzhan, dan sedianya diganti dengan analisis faktual, husnuzhan. Analisis faktual adalah pengamatan rasional atas fenomena, tidak berdasar emosi kecurigaan. Analisis faktual adalah berpikir objektif.
Fenomena saat ini: rasionalisasi dan sistemasi. Orang akan bertindak rasional, memuja rasionalitas, mempergunakan pembukuan yang teliti, dan perhitungan untung-rugi. Kini tak cukup lagi hanya bersandar nilai susila, perasaan, dan tradisi. Kehidupan sekarang bersifat anonim. Tidak lagi diatur oleh orang, tapi sistem yang abstrak.
Makna akhlak dan hati nurani serasa harus menemu wujud secara rasional dalam situasi yang konkret dan objektif saat ini. Pak Kunto mencontohkan, perintah agama untuk berbuat baik kepada orang tua, di Singapura diwujudkan dalam bentuk pembebasan pajak terhadap orang tua.
Pembagian kerja kini diatur sedemikian efektif oleh sistem impersonal. Seorang masinis tidak serta merta bisa mewariskan pekerjaan kepada anaknya, karena harus melewati penjaringan lapangan kerja secara sistemik.
Kenyataan pula pada hari-hari ini, mengemukanya pelapisan sosial berdasarkan kelas. Dan, kelas seseorang ditentukan oleh kedudukannya dalam logika pasar. Bahwa seseorang termasuk dalam suatu kelas tergantung dari kekayaannya, pekerjaannya, kesempatannya dalam kekuasaan, dan atau pemilikan benda-benda material.
Dari situlah, Pak Kunto sedemikian getol mengungkap bahwa masalah pokok yang dihadapi bangsa ini adalah kemiskinan dan kesenjangan. Kemiskinan berpangkal dari kesenjangan natural, akibat tidak samanya pendapatan, karena perbedaan unsur produksi yang disetor ke pasar. Bahwa ada yang punya modal, ada yang punya otak, dan ada yang hanya punya tenaga kerja.
Sementara kesenjangan lantaran struktural. Akibat dari perbedaan fasilitas yang diberikan oleh penguasa politik. Karena adanya kolusi antara pelaku bisnis dan politisi. Karena peraturan-peraturan tentang golongan yang disukai dan tidak. Tentang bagaimana kredit perbankan disalurkan, bagaimana modal dibangun, dan izin perusahaan dikeluarkan.
Kedua, digantikannya jihad psyche (semangat jihad) dengan falah psyche (semangat kesejahteraan). Memang, istilah jihad adalah sebuah kebajikan yang menjadi cita umat Islam. Dan salah kaprah di umat, jihad berarti jihad fisik. Padahal, arti jihad yang lebih halus adalah bersungguh-sungguh. Maka, perlu ada perubahan, dari semangat jihad menjadi semangat kesejahteraan, haya ‘alal falah.
Istilah falah, yang selalu dikumandangkan lewat azan, berarti kejayaan, sukses, keselamatan, dan kesejahteraan. Falah, dari kata falaha, arti sebenarnya adalah membajak, mengolah tanah, dan menanam. Gambaran seorang petani yang bekerja keras untuk meraih kesejahteraan. Gambaran mengenai semangat umat Islam layaknya semangat petani yang sedang bekerja di ladang, bukan prajurit yang berjuang di medan perang.
Dengan semangat kesejahteraan, politisi muslim harus pintar memilah siapa yang termasuk dhu’afa dan siapa yang mustadh’afin. Bukan dalam arti demi kemenangan material salah satu pihak, tapi untuk mencari keadilan dan kemaslahatan umum. Bahwa memihak buruh, tidak berarti Islam itu “kiri”, karena Islam mengakui buruh sebagai buruh.
Kiranya demikian yang bisa saya pungut dari Identitas Politik Umat Islam bahwa factual analysis dan falah psyche merupakan dua strategi objektivikasi. Sehingga, keberadaan partai politik (Islam) yang berbasis objektivikasi, dengan dosis yang pas akan berguna untuk kesehatan umat, dan aman dikonsumsi.
Ungaran, 12/11/2021
Baca juga: Politik Rasional
0 Comments