Hari ini anak sulungku bisa naik sepeda. Jelas sekali terpancar dari wajah polosnya, betapa riang gembira dia hari ini. Tepat pada hari 1 Muharram, anakku minta kepadaku agar melepas roda kecil yang mengapit roda besar sepedanya. Ya, sepeda kecil itu kini hanya beroda dua. Dia berkeliling kompleks perumahan sembari wara-wara, “Saya bisa roda dua.”
Kiranya tidak hanya anakku saja yang hari ini merayakan kegembiraan, sesungguhnya aku pun juga senang karena dia sudah punya sepeda dan malah bisa menaikinya. Sebagai orang tua kerapkali kurang bersabar menghadapi dinamika hidup, terlebih menyangkut eksistensi anak.Sulungku ini, juga ragilku yang kini berusia 14 bulan, dibanding teman-teman sebayanya termasuk telat hampir dalam segalanya. Dari kecil dia omongnya telat, jalannya pun juga lambat. Dari sekian puluh anak-anak seusia dia di kompleks perumahan, dia yang paling akhir untuk sanggup berdiri dan berjalan.
Ketika rekan-rekan sebayanya telah memiliki sepeda kecil beroda empat, kami tak segera membelikannya. Mesti menunggu saat yang tak pendek buat mengusahakan sepeda tersebut. Sesaat lamunanku mengembara ke masa lalu. Saat ribut dengan istri gara-gara sepeda kecil.
***
Isa, itulah si sulung, duduk di bangku TK, merengek minta dibelikan sepeda sebagaimana teman-temannya yang sudah duluan pada jago naik sepeda.
“Yah, beliin sepeda! Beliin sepeda ya, Yah!” tangis Isa, bikin hatiku serasa remuk bak kena palu godam.
“Ayah belum punya uang, Sayang. Ayah janji nanti kalau dah ada uang, ayah beliin.”
“Kapan Yah, belinya?”
“Ya Ayah juga belum tahu, kapan bisa beli sepeda. Sabar ya, Nak.” Tak terasa air merembes dari pelupuk mata membasahi pipiku, tak tahan dengan rengekan sedih sang anak.
Sesaat kemudian Isa sudah asyik bermain dengan teman-temannya. Berlarian mengitari kompleks perumahan, meski lagi-lagi tanpa sepeda di tengah teman-temannya yang asyik bersepeda. Sedih, pilu, plus haru, melihat si Isa yang hanya sanggup berlari-lari di belakang mengikuti teman-temannya bersepeda.
Aku pun tak mungkin mengurung Isa berdiam diri di dalam rumah, belajar corat-coret di dinding atau nonton televisi, agar tak bermain dengan teman-temannya. Supaya melupakan keinginannya atas sepeda. Tak mungkin. Jelas tidak mungkin.
“Gusti Pangeran, kapan saya punya uang, agar bisa nyenengin titipan-Mu itu?” tak sadar aku semakin tenggelam dalam keharuan.
“Kenapa nangis, Yah?” istriku tiba-tiba nongol dari belakang.
“Ah, nggak apa-apa, Bun.”
“Nggak apa-apa, gimana? Mata merah habis nangis gitu kok?”
“Ya, Ayah cuma sedih saja.”
“Sedih kenapa? Bunda tak pernah menuntut Ayah kan?
“Ya, memang Bunda tak pernah merajuk. Namun sampai detik ini, Ayah belum sanggup meluluskan impian Isa. Padahal keinginannya kan tidak neka-neka, cuma kepingin sepeda. Itu saja, tapi suamimu ini nggak gablek duit. Duh Gusti….”
“Iya lo, Yah. Kalau Bunda perhatiin dan dibandingkan dengan teman-temannya, Isa itu termasuk anak yang nggak macam-macam. Dia itu tipe anak yang nrima. Lihat saja tuh bajunya! Yang dipakai ya itu itu saja kan? Dia nggak pernah minta baju baru.”
“Lantas saya mesti gimana, Bun? Hingga detik ini, juga belum ada uang untuk beli sepeda.”
“Ya, gimana! Bunda juga nggak tahu. Ayah kan kepala Rumah Tangga!”
Lontaran kalimat istriku yang terakhir ini langsung menghunjam kesadaran. Aku tak bisa melanjutkan obrolanng dengan istri. Memang sebagai suami, barangkali aku termasuk golongan suami yang tak bertanggung jawab. Melamar pekerjaan, cuma berijazah SMA. Banyak instansi menolak lamaranku. Pernah coba usaha, berkali-kali gagal. Sudah keluar modal banyak. Utang mertua, utang bank, utang sama saudara ipar, tapi hasil nol tiada satu pun wujud. Akhirnya kini saban hari hanya bergelut dengan debu dan lantai di sebuah sekolah swasta milik seorang kenalan. Alhamdulillah aku bekerja sebagai tukang sapu.
“Gimana, Yah? Kapan beliin sepeda untuk Isa?” Teror istriku lagi.
“Sabar ta, Bun! Ayah juga lagi mikir….”
“Sabar, sabar terus … mau sampai kapan mesti sabar?”
“Iya sampai Tuhan mewujudkan impian Isa.” Jawabku asal.
“Jangan bawa nama Tuhan lah, kalau Ayah sendiri nggak mau berusaha!”
“Tapi Bunda, Ayah masih yakin Tuhan bakal meluluskan impian anak kita. Ingat lo, Bun! Kita ini masih berkeyakinan Tuhan Mahawelas kan. Selagi kita yakin dan pasrah kepada-Nya, serta tiada henti berbuat baik pada tetangga, Tuhan pasti akan membelikan sepeda buat Isa.”
“Ah! Itu terus yang Ayah omongkan. Pasrah, yakin, berbaik-baikan sama orang. Terus….”
“Bunda ingat nggak cerita Pak Muh, ada seorang murid berkunjung ke rumah gurunya.”
“Yang mana ya, Yah?” tanya Rahma, tampak mulai kendur saraf marahnya.
“Dahulu, seorang murid pergi ke rumah gurunya dengan membawa oleh-oleh ala kadar. Sang Guru senang karena saat itu sedang berpuasa. Ia berpikir oleh-oleh dari muridnya itu bisa dipakai buat berbuka puasa. Selang beberapa menit kemudian, muncul perempuan tua peminta-minta ke rumah sang guru itu. Oleh si murid, diberikan semua perbekalan kepada si perempuan tua yang semula buat sang guru. Sang guru kaget dengan ulah muridnya. Buka puasa dengan apa? Pikir sang guru. Seakan tahu kegelisahan sang guru, si murid pun meyakinkan gurunya bahwa Tuhan pasti akan mengganti dengan bekal makanan yang lebih karena telah berbuat baik kepada makhluk-Nya. Benar, beberapa menit menjelang bedug maghrib datanglah karib sang guru membawa dus bingkisan berisi menu makanan penuh gizi.”
“Terus hubungannya dengan kita apa, Yah? Hubungannya dengan Isa yang saban malam merengek-rengek minta dibelikan sepeda apa coba?”
“Ya itu tadi, kita mesti sabar, yakin, dan pasrah pada kuasa dan kehendak Tuhan. Satu hal lagi, jangan sampai kelewatan atau enggan bersedekah pada tetangga kanan kiri! Ayah yakin 100%, Tuhan tidak tidur, pasti sepeda akan terbeli.”
Tampaknya istriku masih belum mantap dengan penjelasanku. Ia masih merengut dan menatap hamparan halaman. Ya, akan bagaimana lagi, ini masalah keyakinan. Keyakinan itu tidak bisa dibuktikan dan memang bukan wilayah kerja akal. Sehebat apa pun argumentasi untuk meyakinkan, kalau memang tidak atau belum yakin, ya tak bakal diterima. Urusan percaya dengan keberadaan dan kuasa Tuhan mudah terucap. Namun pasrah dan mengembalikan segenap impian kepada-Nya bukan perkara mudah. Memang bukan penganut atheis, melainkan untuk meyakini di balik wajah kesulitan merupakan wajah kemudahan, tidak segampang membalik telapak tangan. Bahwa di balik kemudahan adalah wajah Tuhan, itu masih jauh dari jangkauan kesadaran.
“Huu…huuu….” Suara tangis anakku dari kejauhan.
Aku dan istriku bergegas melongok ke halaman melihat keadaan sang buah hati kami.
“Kenapa, Nak?” tanyaku kemudian.
“Ada apa sayang?” istriku menghampiri Isa yang berjalan pincang.
“Jatuh ke got. Tadi pinjam sepeda Ais, aku naikin dan masuk ke got. Sepeda Ais rusak.” Jelas Isa.
“Nah kan, Yah! Sepeda belum terbeli. Malahan sekarang mesti ganti biaya kerusakan sepeda orang lain?”
Aku hanya tertunduk diam dan tak sanggup menatap wajah istri dan anakku. “Tuhan, kapan Engkau belikan sepeda buat anakku? Malah kini saya mesti ganti kerusakan sepeda orang lagi. Duh Tuhan!” lirihku dalam hati.
***
Keesokan hari seiring semburat matahari menyapa ramah dari arah timur, kami sudah larut dengan rutinitas. Istriku pagi-pagi sudah sibuk di dapur menyiapkan menu sarapan. Aku pun juga sudah bersih-bersih ruangan, teras dan halaman. Tak lupa buku-buku yang terpajang rapi di teras aku bersihkan dari debu-debu yang melekat. Kedua anakku masih terlelap di atas ranjang tidur.
“Assalamu ‘alaikum.” Tiba-tiba tetangga depan rumah nongol di depan pintu rumah.
“Wa ‘alaikum salam, Ada apa ya?” Tanya aku kemudian.
“Ini Pak ada surat dari PLN, maaf sebenarnya surat ini dititipkan sama saya sudah dua hari yang lalu. Tapi saya kelupaan mau langsung ke sini dan ngasih surat ini ke Bapak!”
“O iya nggak apa-apa ta, Bu. Terima kasih sebelumnya.” Kemudian tetanggaku undur diri menjauh dari rumahku. Mataku pun mengiring kepergiannya hingga lenyap sosok bayangnya di balik pintu rumahnya.
“Ada apa, Yah? Pagi-pagi sudah ada tamu nyasar…”
“Huss, nyasar gimana ta? Ini ada surat dari ….”
Istriku lantas merebut dan tak sabar membuka surat, sontak memerah mukanya dan memandangku dengan wajah seram.
“Lihat nih, Yah! Apa ini? Inikah yang Ayah maksudkan dengan sabar dan yakin itu? Inikah, lihat nih! PLN mau mencabut listrik kita gara-gara nunggak rekening. Ayah, ayah, hidup kok selalu kurang dan tak pernah ngrasain nikmatnya ….” Istriku tertunduk lesu dan isakannya berubah jadi sesenggukan.
Aku bergegas masuk ke ruangan dalam. Menjauh dari istri yang terduduk menangis di ruang tamu. Tak ingin larut dalam kesedihan. Tak ingin berdebat dengan istri. Aku masuk kamar mandi. Mengguyur badan dengan air dingin. Satu, dua, tiga gayung air terus meremasi sekujur tubuh. Tiba-tiba tebersit dalam benakku untuk menjual beberapa buku koleksi yang kira-kira berharga tinggi. Ya, aku harus menjual buku ke Pasar Johar. Usai dari sekolah tempat aku kerja, bisa langsung ke Pasar Johar. Cepat-cepat aku memungkasi ritual dalam kamar mandi. Kemudian menyortir buku-buku yang tersimpan dalam almari. Terkumpul 15 buah buku tebal, yang aku taksir per buku kira-kira 30-an ribu rupiah. Jadi kalau laku semua bisa mengantongi Rp 450.000,00. Cukuplah kalau hanya untuk bayar tunggakan listrik, dan beli sepeda kecil buat Isa. Masalah ganti biaya kerusakan sepeda Ais, bisa dirembuk dengan orang tuanya.
***
Usai melakoni sebagai tukang sapu di sekolah swasta pinggiran Kota Semarang, aku sengaja pulang mendahului sebelum jam kerja selesai. Aku ingin cepat-cepat ke Pasar Johar. Coba menawarkan buku kepada para pemilik kios buku.
Setengam jam perjalanan sampai Pasar Johar. Langsung aku naik ke lantai dua tempat buku-buku dijajakan. Aku mengawali peruntungan ke kios paling ujung, kios buku langgananku ketika ingin mendapat buku langka dan murah. Aku tunjukkan kepada pemilik kios, buku-buku yang kubawa. Ia tertarik tapi hanya berani mematok harga Rp 250.000,00. Jauh dari harapanku, Rp 450.000,00.
Pindah ke kios sebelahnya. Dan sama saja. Tak berani di atas Rp 300.000,00. Pindah lagi, pindah lagi terus menyeluruh ke semua kios. Hasilnya sama. Tak sanggup menghargai satu buku Rp 30.000,00 atau paling tidak Rp 20.000,00.
Aku putuskan untuk membawa kembali pulang lima belas tumpuk buku yang aku tata rapi dalam dus. Aku masih eman melepas buku jika hanya dihargai kurang dari Rp 20.000,00. Mengingat dulu aku dapatkan di toko Gramedia rata-rata di atas Rp 50.000,00. Bahkan ada yang seharga Rp 150.000,00. Bersepeda motor pulang ke Ungaran dengan hati rusuh. Terngiang rengekan Isa dan muka sangar istri.
Terhapus sudah harapan menggenggam Rp 450.000,00. Kandas impian hari ini untuk membayar cicilan rekening listrik dan membelikan sepeda anak. Melegakan hati istri dan memenuhi keinginan sulungku. “Tuhan, beri hamba kemudahan!” lirihku dalam hati.
Aku pacu sepeda motor. Melewati Jalan Mataram di tengah terik panas Kota Semarang. “Oh iya! Masih ada satu tempat,” jerit batinku. Ya, lantas aku belok kanan ke Stadion Diponegoro. Di belakang stadion terdapat deretan kios yang juga menjajakan buku. Aku coba tawarkan buku ke sana.
***
Pukul 16.30 aku sudah berada di depan rumah. Rumah tampak sepi. Pintu rumah tertutup. Ah barangkali istri dan anak-anakku sedang nonton televisi di dalam. Sehingga tak mengetahui kedatanganku. Aku parkir sepeda motor di teras. Mantap aku buka pintu rumah. Semantap hatiku karena telah melunasi tunggakan listrik. Dan di dalam sakuku masih tersisa Rp 350.000,00 kiranya bisa buat beli sepeda. Begitu pintu rumah terbuka, degg! Aku tak percaya dengan tangkapan mataku. Berdiri anggun sepeda kecil warna hijau di ruang tamu. Roda depan dan belakang masih terbungkus kertas kardus, pertanda baru keluaran toko.
“Ayah! Sepedaku baru.” Dari ruangan dalam Isa berlari menghampiriku, disusul Rakai dan istriku. Senyum mengembang dan membentuk lesung pipit pipi istriku.
“Begini, Yah. Tadi pagi setelah Ayah berangkat kerja. Bu Yuli bersama suami ke sini. Mereka menyerahkan uang Rp 500.000,00 sebagai ganti batu kali dan batu bata.”
“O mereka bayar. Padahal semula Ayah maksudkan sisa batu-batu itu silakan dimanfaatkan sesuka mereka. Ayah tak bermaksud menjual sisa material kita itu.”
“Ya, begitulah. Mereka tak mau barang gratis. Kemudian Bunda ke pasar dan sepeda ini hasilnya. Namun Bunda belum bayar rekening listrik, karena sisa uang Bunda pakai untuk beli celana panjang Isa dan Rakai.”
Aku genggam tangan istriku. Aku ciumi punggung tangannya dan kukecup keningnya. Lantas kutunjukkan kwitansi lunas rekening listrik. Kuserahkan sisa uang hasil penjualan buku.
Ungaran, 01/03/2016: 17.53
Baca juga: Naik Bus ke Kebumen
1 Comments
mengharukan...
ReplyDelete