Pagi, pagi sekali, aku, istriku, dan dua anakku sudah berdiri di bibir jalan menunggu bus jurusan Kebumen. Menunggu, menunggu, dan menunggu hingga pukul 07.30, tetapi bus yang lewat selalu penuh penumpang. Aku lihat penumpang bergelantungan di pintu depan dan belakang bus, sehingga tak mungkin memaksa Rahma, istriku, apalagi anak-anakku, Isa dan Alwi, tetap nekat naik bus. Padahal hari ini kami harus ke Kebumen. Adik iparku meninggal dunia, dini hari tadi. Aku tengok jam di layar telepon genggam, telah menunjuk angka delapan.
"Entah bagaimana caranya, kita harus cepat sampai Kebumen, Bun!" gerutuku pada Rahma."Ya, tapi bagaimana, Yah? Terbang!" Tak kalah sengit istriku menimpali, sembari nanar menatap setiap bus yang lewat."Ya sudah...."
"Sudah, bagaimana?"
"Kita naik mobil travel saja."
"Namun uang kita nggak cukup, Yah! Dua kali lipat, bisa untuk ongkos bolak-balik Ungaran-Kebumen."
"Ayah, Bunda! Itu bus jurusan Kebumen!" Isa, sulungku, menuding bus dari arah Semarang. Memang tak salah, itu bus jurusan Kebumen, dan kelihatan tak banyak penumpang.
Tepat di depan kami berdiri, bus menepi. Dibantu kernet mengangkat Isa, aku gendong Alwi, si bungsu, dan istriku mencangklong tas, menyeruak masuk di sela penumpang yang berdiri di barisan depan dekat sopir. Bus pun berjalan. Kami menerobos pelan menengah, dan ternyata sudah tidak ada kursi kosong. Ya, terpaksa berdiri.
"Nggak apa-apa ya, Nak! Moga tidak lama." Aku lihat Isa menganggukkan kepala. Duh, kasihan dia. Baru kali pertama naik bus malah berdiri. Alwi masih dalam gendonganku. Sementara istriku berdiri menyandar kursi di samping Isa. Ya, ini kali pertama menjajal naik bus. Sebelum ini, kami tak biasa bepergian jarak jauh naik bus. Ungaran-Solo atau Ungaran-Kebumen biasa kami tempuh dengan naik sepeda motor. Bahkan liburan Lebaran, bersama anak-istri menunaikan hajat mudik, juga dengan bersepeda motor. Bukan berarti antibus atau takut naik kendaraan umum, tidak, sama sekali tidak.
Memasuki Terminal Bawen, banyak penumpang turun. Kaki pegal karena lama menanti bus longgar datang dan berdiri 45 menit dalam bus, akhirnya terobati. Aku tuntun anak-anak menempati deretan kursi kosong dekat pintu belakang, dan istriku duduk di sebelah mereka. Sementara aku tetap berdiri dekat mereka. Bus jalan meninggalkan terminal. Aku lihat ke depan, jalanan padat mengular. Matahari merayap 45 derajat. Ya, sudah tak pagi lagi. Waktu menunjuk pukul 09.00, dan bus yang kami tumpangi berjalan seperti keong belum menjauh dari Terminal Bawen. Kota Ambarawa yang terdekat dari Bawen, yang termasyhur dengan kisah palagan, juga belum kelihatan.
"Duh, mesti pukul berapa ya, Bun, kita sampai Kebumen?" bisikku pada Rahma yang sedang mengipasi Alwi. Belum sempat menimpali gerutu aku, tiba-tiba telepon selulernya mendering.
"Ya, assalamu’alaikum," Rahma menjawab, "baru sampai Bawen.... Ya, nggak apa-apa. Ditinggal saja, soale perjalanan sampai Kebumen sekitar empat jam." Pembicaraan selesai. Telepon genggam pun ia tutup.
"Yah, Rama*) minta keikhlasan kita, tak melihat jenazah Adik. Keluarga Kebumen ingin segera memakamkan almarhumah," ujar istriku sembari tetap mengipasi Alwi yang kegerahan. Sementara Isa telah menggoyang-goyangkan kepala, malah kadang terbentur kaca jendela, pertanda tak kuasa lagi menyangga kepala. Rasa kantuk telah menyerang. Tak perlu menunggu lama ia pun tertidur.
Nyaris satu setengah jam perjalanan baru sampai Ambarawa. Alwi telah mengikuti jejak sang kakak, larut dalam mimpi. Dan, istriku berkali-kali menguap. Aku suruh ia istirahat. Perjalanan masih jauh. Apalagi arus di jalanan hari ini macet. Entahlah. Aku belum tahu penyebab kemacetan hari ini. Padahal jalan sudah dibikin lebar. Tetap saja belum bisa mengurai kemacetan. Ini kota kecil! Bagaimana dengan Kota Semarang? Surabaya? Terlebih Jakarta?
Aku arahkan pandangan mata ke belakang. Menembus kaca bus, dan terlihat lincah banyak pengendara sepeda motor berusaha menyusul kendaraan di depan mereka. Tak sedikit pula mobil pribadi hari ini memadati jalanan. Ah, kemungkinan mobil-mobil pribadi itu yang bikin kemacetan. Entahlah.
Kulirik anak-anak dan istri masih terlelap dalam tidur. Kira-kira satu jam baru masuk Magelang. Melaju arah Terminal Magelang, kemacetan berkurang. Sepeda motor dan mobil-mobil pribadi mengambil arah berbeda dari jalur yang dilewati bus. Bus melewati jalan lingkar yang menjauh dari kota menuju ke terminal.
Bus masuk terminal dan berhenti lama. Para penjaja penganan, penjual rokok, dan pengamen bergantian masuk dari pintu depan keluar lewat pintu belakang. Begitulah. Berganti-ganti meramaikan suasana dalam bus di tengah para penumpang yang berleleran keringat. Jendela kaca tak bisa dibuka makin menambah rasa penat. Anak dan istriku masih dalam buaian mimpi. Kernet bus masuk dan lantang berteriak, "Yang jurusan Purworejo, Kebumen, dan Cilacap, pindah bus sebelah. Jangan lupa karcis!"
"Huuu!" Serentak suara gerundelan penumpang yang kesal, sambil cepat-cepat turun. Istri terperanjat dan cepat-cepat beranjak ke depan mengambil tas yang semula ditaruh di bawah kursi dekat sopir. Aku membangunkan Isa dan kusuruh pula cepat mengikuti langkah sang ibu turun lewat pintu depan. Alwi aku gendong.
Seluruh penumpang turun dan berebut cepat mendapatkan tempat duduk dalam bus yang ditunjuk kernet. Kami kalah gesit, terpaksa mengalah dan tak kebagian tempat duduk. Aku masih tidak paham kenapa harus dipindah? Kenapa pula bukan bus yang sejak awal kosong sebagai ganti? Kembali kupandangi wajah polos kedua bocahku, yang juga tak mengerti kenapa mesti berdiri lagi. Istriku masih mencangklong tas, berimpitan dengan penumpang lain yang senasib tak kebagian kursi.
Bus kedua ini cukup kencang meninggalkan Kota Magelang. Kalau laju bus stabil seperti ini, aku perkirakan pukul 13.00 sampai di Purworejo.
"Moga bus ini terus melaju ya, Bun," aku bisikkan ke telinga istriku, "jadi tidak lebih dari pukul 14.00 bisa sampai Petanahan, Kebumen."
"Amiiin..." istriku menjawab pelan.
Memasuki Salaman, macet kembali mengadang. Kulirik istri mulai disergap kegelisahan. "Waduh!" gumamnya.
"Kenapa pelan, Yah?" tanya Isa yang mulai menunjukkan wajah segar berdiri di sampingku. Ia kelihatan segar, kemungkinan karena usai bangun tidur.
"Iya, Yah, busnya pelan." Alwi yang masih menempel erat dalam gendonganku menimpali.
"Ayah tidak tahu, Nak. Oh iya, nanti kalau sudah di rumah Eyang, kalian bisa ajak Om Zidan main ke Pantai Petanahan. Main pasir." Aku berusaha mengalihkan penat anak-anak dengan mengajak mereka membayangkan pantai. Isa dan Alwi suka, sangat suka, pantai. Di rumah Ungaran, kerap aku ajak mereka ke Marina. Apalagi nanti ke Pantai Selatan, anak-anak bakal betah berjam-jam. Hamparan pasir Pantai Petanahan amat memanjakan mereka. Bersih, landai, tak ada karang, dan gulungan ombak tidak ganas.
***
Bukan pukul 13.00, melainkan pukul 14.00 baru sampai Purworejo. Sepanjang jalanan mulai dari Salaman hingga batas Purworejo ada perbaikan jalan. Sepanjang itu pula kami terus berdiri. Kadang Alwi minta diturunkan dan ganti menggelayut ke pundak istriku. Isa terus mengoceh, cerita banyak hal tentang pasir, air, tsunami, Om Zidan (adik bungsu istriku), dan Uut (almarhumah, adik nomor dua istriku).
Sudah pukul 14.15, dan bus masuk ke Terminal Purworejo. Aku melangitkan doa, semoga tidak berhenti lama, dan semoga pula ada penumpang turun, sehingga sejenak bisa duduk dan mengenakkan badan. Bus berhenti dan syukurlah, lumayan banyak penumpang turun. Langsung aku giring anak-anak menempati kursi kosong. Mereka pilih kursi berjajar dua. Aku dan istri duduk di kursi berjajar tiga di samping mereka. Ah, lega dapat tempat duduk.
"Ayah tidur sebentar ya, Bun. Bunda awasi anak-anak!"
Istriku mengangguk sembari mengulas senyum yang meredakan resah dan gelisahku. Dia mempersilakan aku sejenak memejamkan mata.
Namun tiba-tiba kernet bersuara lantang, "Ayo yang mau ke Kebumen atau Cilacap, silakan turun!"
"Duuuh!" Umpatku. Kesal. Belum lagi memejamkan mata sudah terusir. Ah, beginikah transportasi di negeri ini? Kursi duduk lusuh, kaca jendela tak bisa dibuka, dan asap knalpot hitam mengepul.
"Huu...uasuuu!" Suara cempreng penumpang kesal.
"Jingan tenan!" Umpat yang lain dan terus bersahutan heboh menumpahkan kekesalan antarpenumpang.
Kernet menjelaskan bus mogok. Semua penumpang harus pindah ke bus yang baru saja berhenti dari Yogyakarta. Sekilas kulihat bus itu sudah sesak penumpang. Terpikir olehku untuk menunda, tunggu bus berikut. Namun istri memaksa nekat. Ia beralasan akan makin lama waktu habus di jalan. Tidak ada pilihan, lantas aku tuntun dan naikkan anak-anak masuk duluan. Istri menyusul dan terakhir aku menggelantung di pintu belakang. Bus jalan membelah Kota Purworejo.
Seumur-umur baru kali ini berdiri di pinggir pintu bus seperti umumnya kernet yang meneriaki calon penumpang. Tentu saja aku tak berteriak-teriak cari penumpang, tetapi mengumandangkan gerundelan dalam hati. Ah, mimpi apa semalam. Isa dan Alwi masih kecil, terpaksa gonta-ganti naik bus, demi impian bisa main ke pantai. Istriku, aduh, badan tak langsing, tetapi kudu berkejaran naik-turun bus.
Kulihat rona lelah menghias wajah Isa dan Alwi. Wajah semringah yang mereka tunjukkan tadi setelah keluar dari Magelang, kini menghilang. Bukan lagi keceriaan, melainkan kelelahan dan kegelisahan. Sebagaimana istriku yang makin membuncah rasa gelisah. Ia berdiri di sampingku, tangan kanan menggandeng Alwi dan tangan kiri memegang erat-erat pinggangku. Isa memegang tangan kananku. Tas aku cangklong di pundakku sembari pegang erat pinggir pintu supaya tidak terempas jatuh ke jalan.
"Yah, seandainya tadi pagi naik sepeda motor, tidak akan begini kejadiannya."
"Bunda kecewa? Kan Bunda juga tahu, sepeda motor kita lagi di bengkel."
"Ya, Bunda paham. Ah, andaikan punya mobil."
"Hus! Jangan mengandai-andai terus, Bun! Pegang yang erat Dik Alwi!"
"Ya, Ayah juga! Pegang yang kencang Kakak Isa!"
Ungaran, 27/01/2016: 18.07
Baca juga: Nomor HP itu
0 Comments