Sudah selesai. Ya, pukul 07.45 gerhana matahari total itu sudah berlalu. Bulan yang menutup matahari sudah bergeser. Bersama sulungku, Isa, dan istriku, aku mengamati peristiwa alam itu di teras rumah. Tidak hanya kami. Tetangga depan rumah juga melakukan hal yang sama. Aku yakin, tetangga lain yang jauh dari rumahku juga tak melewatkan fenomena itu. Melihat matahari yang membentuk sabit.
Takjub. Benar aku takjub dan sesaat telah berhasil mengusir kegelisahanku. Menatap pergerakan bulan yang menutup cahaya matahari itu, meski sebentar telah menanggalkan rasa resah yang menyembul sejak kemarin. Aku dan lebih-lebih istriku hari ini sangat bingung. Bingung mencari pengganti Mbah Sarmi. Sekarang-sekarang ini tidak mudah mencari pembantu rumah tangga yang tepat. Meskipun hanya setengah hari. Meski hanya mengasuh bungsuku yang belum genap dua tahun.Mbah Sarmi telah menjadi bagian keluarga kami sejak anak pertama lahir. Ya, berarti sudah enam tahun. Ia satu asal daerah dengan istriku, Kebumen. Seorang paruh baya. Sudah tak bersuami dan punya dua anak yang sudah pada besar. Anak pertamanya, perempuan sudah berkeluarga dan kini tinggal di Jakarta. Sementara yang kedua, laki-laki, masih duduk di bangku SMP dan ikut tinggal bersama kakaknya.
Istriku mengajak Mbah Sarmi untuk tinggal bersama kami, tak lain tak bukan karena kasihan. Ia tinggal sendirian di kampung. Ia tak mau ikut merantau ke Jakarta, tinggal bersama anak perempuannya. “Saya tak mau merepotkan Narti,” begitu katanya pada saat aku tanya. Semula ia juga tak bersedia diajak istriku. Namun kemudian berubah pikiran, ketika istriku menjelaskan tengah butuh pengasuh anak.
Memang kami membutuhkan, sangat membutuhkan tenaga pembantu buat mengasuh anak. Kami sama-sama sibuk bekerja. Aku kerja sebagai pengelola sebuah sanggar kebudayaan, Kampung Seni Lerep. Sementara istriku, seorang guru SD swasta di kota kecil Ungaran. Kini anakku yang pertama sudah berusia enam tahun. Masih TK besar yang juga satu yayasan tempat istri mengajar. Sehingga berangkat dan pulang sekolah bisa bersama-sama. Anakku yang kedua masih berusia satu tahun lebih enam bulan. Jelas kami kerepotan dan masih membutuhkan bantuan pengasuh. Dan Mbah Sarmi itulah yang selama ini telah membantu mengurai kerepotan kami. Kerepotan dalam mengasuh anak.
Seperti layaknya cucu sendiri. Mbah Sarmi memperlakukan kedua anakku dengan sabar dan penuh perhatian. Tak pernah keluar kata-kata kasar, umpatan, atau sekadar keluh kesah saat menjaga dan menemani anak-anakku. Isa dan Rakai juga demikian. Mereka lengket dengan Mbah Sarmi. Amat lengket. Malah eyang mereka sendiri, baik di Sragen maupun Kebumen kalah lengket. Ya, Mbah Sarmi sudah seperti nenek sendiri buat anak-anakku.
Nah, kebingungan tiba-tiba melanda kami. Mbah Sarmi sakit keras. Itu sakitnya yang terparah selama tinggal bersama kami. Biasanya, ia hanya sakit kepala, kaki pegal-pegal, atau batuk. Tak lebih dari itu. Namun tidak dengan tiga hari yang lalu. Sekujur tubuhnya panas-dingin. Tak selera makan. Kurang minum. Aku bawa ke puskesmas langsung dirujuk untuk ke rumah sakit. “Saya periksa di Rumah Sakit Kebumen saja, Pak. Dekat dengan rumah sendiri,” bisik Mbah Sarmi padaku. Tak menunggu lama, kemarin sore aku antar Mbah Sarmi ke Kebumen.
“Bagaimana, Bun? Besok siapa yang menjaga Dik Rakai?” aku bertanya pada istriku yang asyik pegang kamera, usai mengabadikan gerhana matahari. Aku lihat muka istri kembali tertunduk. Ia tak segera menjawab. “Duh, salah aku. Mestinya tidak sekarang ngomong soal pengganti Mbah Sarmi,” gerutuku dalam hati. Ya, aku tak tega melihat istri sedih. Aku tak mau kehilangan senyumnya yang spontan.
“Bunda belum tahu, Yah. Semalam sebelum Ayah sampai rumah, Bunda tanya-tanya ke Biyung, Rama, dan Wa Tasim. Barangkali ada orang yang bisa jadi pengganti Mbah Sarmi. Namun mereka juga tidak tahu. Mereka bilang: jaman sekarang susah nyari pembantu.”
“Terus keadaan Mbah Sarmi sendiri bagaimana, Bun? Sudah tanya tetangganya?”
“Bunda juga belum tahu. Bibi Mur yang nungguin di rumah sakit juga belum bisa dikontak hingga pagi ini.”
Kembali muka istriku tertunduk. Seolah-olah ia tak berani menatap aku. Sementara matahari telah menyemburatkan sinarnya tanpa halangan lagi oleh bulan. Matahari telah menyinar sebagaimana biasa. Ungaran kembali terang. Aku memilih diam, menunggu istriku yang bicara duluan. Namun ia juga memilih diam. Cukup lama terdiam. Ia pandangi hasil jepretan kamera yang mengabadikan detik demi detik proses gerhana. Sesekali ia kernyitkan mata, seakan hendak masuk lebih dalam pada gambar. Kemudian ia alihkan pandangan ke hampar halaman. Lurus seakan menembus pepohonan yang menghijau di kebun tetangga. “Bagaimana nih, aku harus ngomong apa pada Rahma?” Hatiku makin resah.
“Apa begini saja ya, Yah. Bunda mulai besok keluar dari pekerjaan.” tiba-tiba ia buka suara.
“Ah! Ya, janganlah, Bun! Bunda jangan keluar. Kasihan Assalam.”
“Terus siapa? Minta tolong pada tetangga? Ayah tahu sendiri bagaimana tetangga-tetangga kita itu memperlakukan anak-anaknya. Seperti monster.”
“Iya. Tapi ... Ah! Pusing Ayah.”
“Bunda apalagi, Yah! Sedari semalam, sembari nunggu Ayah pulang, Bunda sampai detik ini belum bisa tidur. Pusing mikirin pengganti Mbah Sarmi.”
Kembali istriku terdiam. Hmmm, kalau sudah begitu jadi seram mukanya. Sangar. Menakutkan. Lantas, keputusannya untuk keluar dari pekerjaan? Ah, tidak! Ia tak boleh keluar. Lebih baik aku yang keluar. Tapi bagaimana nanti? Kami akan makan apa? Toh selama ini kalau dihitung-hitung penghasilanku lebih besar ketimbang gaji istri. Jadi kalau aku yang di rumah, bisa-bisa susu Rakai tak terbeli. Atau malah sekolah Isa yang bakal bubar. Aduh!
“Bagaimana, Yah? Bunda keluar saja ya?” Istriku mengulang pertanyaan yang bikin pandangan mataku kian kabur. Tak sanggup aku membayangkan tatapan para kolega Assalam. Terutama ibu-ibu yang centil itu, para guru muda yang ceriwis yang pasti meneror istri kenapa keluar dan pilih berkarir sebagai ibu rumah tangga.
“Coba Ayah pikir lagi! Barangkali ada jalan lain....”
“Jalan lain itu apa?” istriku langsung menyahut, “Selain Bunda keluar, apalagi alternatifnya? Buntu kan? Sepertinya ini keputusan yang terbaik, Yah. Sebab Bunda yakin, Ayah juga tak mau meninggalkan Kampung Seni. Ayah sangat tidak siap menjadi bapak rumah tangga. Tak siap menjalani kesibukan rumah.”
Terus terang aku tersinggung dengan pernyataan terakhir istriku itu. Ia memvonis aku tak siap menjadi bapak rumah tangga. Tapi bisa jadi memang begitu. Aku tak membayangkan saban hari sibuk dengan urusan dapur, menyapu lantai, mengepel, mencuci, dan mengantar anak sekolah. Belum lagi kalau ada tetangga mampir rumah. Ya, menggunjing. Apalagi selain itu. Tidak! Aku tak mau di rumah.
“Baiklah, Bun! Ayah mulai besok di rumah menemani anak-anak.” Aku berkata lirih tanpa menatap mata istri. Aku tak mengerti betul kenapa justru akhirnya memutuskan demikian. Membiarkan istri yang bekerja di luar rumah.
***
Tok, tok, tok! Suara pintu diketuk. Ah! Siapa pula jelang magrib datang bertamu. Aku keluar dari ruangan dalam. Aku lihat jam di dinding persis menunjuk pukul 16:45. Jam segini Rahma masih di musola mengajar TPQ.
Aku buka pintu. “O, Mak Sri. Tumben sore-sore?” Mak Sri mantan pembantu Pak Markus, tetangga sebelahku, berdiri di ambang pintu. Aku persilakan ia masuk dan duduk di ruang tamu.
“Maaf Pak Pardi! Sore-sore saya mengganggu. Saya dengar Mbah Sarmi sakit ya?” Tanya Mak Sri setelah duduk di kursi.
“Iya, Mak! Kini sedang dirawat di Rumah Sakit Kebumen. Ia kena radang lambung.”
“O, nggih, Pak Pardi. Barangkali berkenan saya bersedia menggantikan Mbah Sarmi.”
Hmm, sudah aku duga maksud kedatangannya. Ternyata benar. Ia ingin bekerja di sini. Sebetulnya aku tak begitu sreg dengannya. Ia galak terhadap anak kecil. Ia tak bisa ngemong. Aku sering mendengar ia memarahi Geby, sulung Pak Markus. Tapi mungkin saja bisa dicoba barang satu minggu, supaya istriku tetap nyaman mengajar.
“Aduh, Mak! Saya nggak bisa memutuskan. Tunggu Bu Rahma pulang dari musola saja ya! Paling sebentar lagi.”
Aku tinggalkan Mak Sri di ruang tamu sendirian. Aku masuk ke dalam. Aku bikin teh manis buat Mak Sri. “Tuhan! Hamba serahkan sepenuhnya pada kehendak-Mu,” aku mendesah sembari mengaduk gula dalam gelas yang terisi air teh. Aku sebetulnya masih bimbang. Bimbang dengan keputusanku yang tiba-tiba mesti keluar dari Kampung Seni. Juga tak mantap dengan Mak Sri. Ah, Mbah Sarmi! Sungguh tak tergantikan.
Ungaran, 09/03/2016; 19.17
Baca juga: Sepeda Kecil Anakku
0 Comments