Jadi begini, dalam diri kita ini ada mata fisik dan mata hati. Mata fisik (selanjutnya ditulis “mata” saja) berfungsi untuk melihat permukaan kenyataan, yang tampak pada alam semesta ini. Sedang mata hati untuk membedah segala sesuatu agar yang tersembunyi dari balik kenyataan bisa diketahui.
Mata bekerja karena ada penyelarasan dua cahaya, yakni cahaya yang memancar keluar dari kedua kelopak mata dan cahaya yang memancar dari luar. Sekiranya tidak ada keselarasan antara cahaya dari mata kita dengan cahaya dari luar, bisa dari cahaya matahari atau cahaya lampu, atau yang lain, niscaya kita tidak akan bisa melihat segala yang hadir di depan kita.Pun demikian dengan mata hati. Akan terang pula menangkap yang tersembunyi dari kenyataan, tatkala ada keselarasan dua cahaya, yakni cahaya akal dan cahaya Allah. Akal adalah cahaya yang memancar di otak. Sementara cahaya Allah memancar pada kenyataan. Otak merupakan tempat memancarnya cahaya akal. Sedangkan alam semesta adalah bak layar yang menerima cahaya Allah. “Allah adalah sumber cahaya langit dan bumi ….” (An-Nur: 35).
Dengan demikian jelas, baik mata maupun otak tidak berfungsi tanpa kehadiran cahaya. Walau kita tidak bisa melihat cahaya yang ada di kedua kelopak mata dan cahaya yang menerangi akal di otak. Namun, berkat cahaya itu, yang kita yakin ada, kita bisa melihat bentuk dan warna segala sesuatu, kita bisa mengetahui hakikat dari segala. Dan, sumber dari segala cahaya adalah Allah.
Maka, hakikat kenyataan adalah wujud Allah, persis sebagaimana pancaran sinar matahari yang masuk ke dalam cermin. Kemunculan Allah pada segala sesuatu merupakan cahaya, yang menjadikan segalanya ada.
Dari situ menjadi terang kenapa Syekh Ibnu ‘Athaillah mengungkap, “Semesta itu seluruhnya gulita. Ia hanya akan diterangi oleh wujud Allah. Siapa yang melihat semesta, tapi tidak melihat-Nya di sana atau tidak melihat-Nya ketika, sebelum, atau sesudah melihat semesta, berarti ia telah disilaukan oleh cahaya-cahaya lain dan terhalang dari surya makrifat karena tertutup tebalnya awan dunia.”
Jadi, seperti kesimpulan Syekh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi, cahaya itulah sesungguhnya rahasia seluruh alam semesta. Akal bisa memahami sesuatu adalah cahaya. Mata bisa melihat bentuk dan warna juga cahaya. “Segala sesuatu itu, adalah bagian-bagian dari cahaya yang menyatu dan menebal yang kemudian berubah menjadi materi yang bisa dilihat. Materi ini memiliki keistimewaan, ciri-ciri, jenis, dan nama yang beragam.” (halaman 253, Al-Hikam Al-Athaiyyah).
Dan, sekali lagi sumber cahaya yang menyinari dan membentuk segala sesuatu di semesta adalah Allah. Segala sesuatu termasuk diri kita tersusun dari cahaya ketuhanan. Maka akhirnya, anehlah jika kita tidak berkesadaran bahwa ke mana pun memandang, di situlah Wajah Allah (lihat Al-Baqarah: 115).
Tapi, dalam hikmah selanjutnya, Syekh Ibnu ‘Athaillah menyatakan, “Di antara tanda kekuasaan Allah adalah Dia mampu menghalangimu dari melihat-Nya dengan sesuatu yang tidak ada.”
Nyatalah, dalam hikmah sebelumnya, kita jadi paham bahwa pilar segala sesuatu ini adalah Allah. Bahwa cahaya Allah memenuhi segenap sudut ruang dan waktu. Bahwa sesungguhnya kita bisa menyaksikan Allah di mana pun berada. Tapi di sini, Syekh Ibnu ‘Athaillah seolah membalik, “Dia mampu menghalangimu dari melihat-Nya dengan sesuatu yang tidak ada.”
Bagaimana itu?
Baca juga: Menyaksikan wajah-Nya
Sebetulnya kita tidak akan menemu kesulitan mencari orang-orang yang dihalangi Allah untuk melihat-Nya. Banyak orang malahan, apalagi di era serba instan ini. Banyak yang kesulitan untuk menyaksikan dan mengetahui Allah. Padahal, Allah penentu kehidupan ini. Bahwa segenap sudut dan cakrawala tenggelam dalam cahaya Allah. Tapi kebanyakan lebih memilih untuk masa bodoh.
“…dan ketahuilah bahwa Allah berada di antara manusia dan hatinya….” (Al-Anfal: 24).
“Bukan demikian! Orang-orang yang mendustakan ayat Kami sungguh telah tertutup dari Tuhannya.” (Al- Muthaffifin: 15).
Kenapa Allah menghalangi mereka? Ya, jawabannya: karena mereka sengaja mengingkari kebenaran, bahkan dengan congkaknya tidak memerlukan Tuhan. Bukan karena mereka bodoh. Bukan karena tidak tahu Tuhan dan hukum-hukum-Nya. Melainkan sengaja mengingkari. Sengaja berlaku sombong. Tidak mengindahkan kewajiban.
Syahdan, semua hal selain Allah itu hakikatnya tidak ada. Tapi kenapa yang tidak ada itu justru bisa menghalangi kebanyakan orang dari menyaksikan Allah?
Kiranya firman Allah ini bisa menguatkan kita untuk hati-hati agar tidak lengah, “Sungguh Kami sediakan neraka Jahanam bagi kebanyakan jin dan manusia, mereka mempunyai hati tapi tidak digunakan untuk memahami, mempunyai mata tetapi tidak bisa melihat dengan jeli, mempunyai pendengaran tetapi tidak bisa mendengar dengan baik, mereka itu bagaikan ternak, bahkan lebih sesat, merekalah orang-orang yang lalai.” (Al-A’raf: 179).
Begitulah.
Ungaran, 01/11/2021
Baca juga: bagaimana bersinar?
0 Comments