Ibarat menanam pohon: harus menyiapkan lahan, menjaga kesuburan tanah, lantas telaten menyiraminya saban hari sebelum tumbuh besar. Dan, yang tak kalah penting, menghindarkannya dari serangan hama yang akan melumat daun dan meringkihkan batang.
Pun demikian anak-anak. Jauh sebelum anak kita lahir, bahkan saat kita mengikat janji untuk berumah tangga, kita berikrar turut mengupayakan generasi yang bisa berdarmabakti kepada bangsa, negara, dan agama.Kemudian sang jabang hadir dalam rahim, kita pun berhati-hati menjaga keselamatannya. Kita tidak tahu, ia akan lahir selamat atau tidak. Kita hanya bisa berusaha dan berharap, tapi Tuhan sepenuhnya Sang Maha Penentu.
Saya masih ingat betapa berhati-hatinya Rahma saat mengandung anak pertama. Ia menjaga betul pola makannya, aktivitas keseharian, hingga irama dan cara beristirahat. Dan, ternyata Tuhan berkehendak lain, anak pertama kami gugur.
Berkat pengalaman itu, lantas kami lebih ekstra hati-hati kepada anak kedua dan ketiga, Ahimsa dan Rakai. Kini kedua pangeran itu bertumbuh lucu dan menyejukkan mata. Mereka sungguh menghibur hari-hari kami. Rumah kecil dan perabotan seadanya pun tak jadi soal, lantaran kehadiran mereka.
Artinya apa? Kami sadar, sedari awal, selain menjaga lahan singgah, kami juga harus mencipta atmosfer bertumbuh-kembang yang aman dan nyaman. Anak-anak tidak terbebani oleh banyak aturan. Mereka bisa asyik membaca atau menulis, atau yang lain. Kami, sebisa mungkin, tidak menuntut lebih di atas batas kemampuan mereka. Sebagaimana gambaran menanam sebuah pohon, kita tidak bisa menuntutnya segera berbunga apalagi berbuah ketika masih tunas.
Jadi, lahan sudah disiapkan. Disiram saban hari. Dipupuk Kita rawat benar-benar hingga mekar menuju remaja. Kita jaga mereka dari serangan hama ulat, wereng cokelat, dan sejenisnya.
Gawai, atau televisi untuk generasi kita, perwujudan ulat atau wereng cokelat yang mengganggu pertumbuhan anak. Gawai di tangannya ternyata lebih sebagai hama yang menggerogoti daun-daun pikiran anak. Cepat atau lambat kesadarannya pun terganggu. Seperti, si anak gampang marah. Suka memerintah orang tua. Meminta sesuatu mesti sakdet saknyet, harus saat ini dan di sini. Si anak gemar melayangkan umpatan. Menjadi ringan tangan. Dan, juga sebaliknya, sangat lambat merespon perintah orangtua.
Berkat gadget, si anak gampang mengakses pelbagai permainan atau film dari youtube yang sebetulnya tak perlu. Hal itu tampak, permainan anak-anak sekarang tidak seimajinatif sebagaimana kita dulu ketika berusia anak.
Bahkan malah, anak lebih akrab rekan sosial medianya ketimbang rekan sekampungnya. Anak kehilangan minat untuk diajak menyambangi saudara dan handai tolan. Inisiatifnya rendah, dan orangtua harus bercucur air mata membujuk anak agar meminati eksplorasi. Meminati buku, ketimbang menggosipi tingkah konyol artis.
Nah, terus terang saya miris melihat anak-anak tetangga yang kecanduan gawai. Ke mana saja kaki melangkah, gawai tak pernah lepas dari tangan mereka. Gawai telah mengkudeta kepribadian anak. Membentuk karakter, yang menjauhkan hubungan intim orangtua-anak.
Ketika berlibur lebaran di kampung, saya dan Rahma mengelus dada lihat keponakan yang tidak lagi nyaman bertandang ke rumah kerabat. Ia tak betah karena kehilangan kesempatan main game online. Tidak lagi mengerti etika bertamu. Juga tatkala sebagai tuan rumah, tidak lagi merasa perlu mengantar kepulangan tamu hingga di depan pintu rumah.
Terus bagaimana seorang anak akan memiliki kegemaran membaca, tanpa harus melewati drama adu mulut, atau segala rupa iming-iming? Bagaimana mengalihkan gawai, dan kemudian intim dengan buku?
Pertama, orangtua harus menjadi inspirator anak. Baik ayah maupun ibu harus menyediakan diri untuk dijadikan pedoman sebagai pembaca buku dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga anak menghirup atmosfer itu. Anak akan melihat orangtuanya selaku pembelajar, sebagai pembaca buku, bukan pembaca WhatsApp, facebook, atau twitter.
Kedua, ada habit training. Ada jadwal membacakan buku. Tidak perlu panjang yang mesti menghabiskan berlembar-lembar halaman. Yang penting anak terlibat dalam acara membaca buku. Berlangsung konsisten, teratur dan bertahap. Untuk anak di bawah 6 tahun, bisa dimulai dengan buku bergambar. Kemudian meningkat pada buku bergambar sedikit, hingga sama sekali tanpa gambar. Prinsipnya, kita, orangtua, mesti sedia bersusah payah menjadi fasilitator yang baik.
Dan yang ketiga, ketersediaan buku-buku berkualitas, living books. Sekali lagi living books, ikon para praktisi Charlotte Mason. Kehadiran buku-buku yang berhasil menyedot perhatian, baik anak maupun orangtua. Sekali anak terkepung living books, kita akan tertegun sebagaimana Charlotte alami: terkejut oleh respon anak yang berkonsentrasi penuh, kecintaan pada buku, kemampuan verbal dan kekayaan kosakata. Anak memiliki minat besar pada literasi, yang berbasis sejarah dan bahasa.
Sejarah dan bahasa! Benar, sejarah dan bahasa. Dan saya baru mengerti bahwa pendidikan Charlotte Mason ternyata bertumpu pada keduanya, basis dari pendidikan klasik. Charlotte, yang hidup pada abad XIX, melihat langsung pertarungan praktik pendidikan klasik versus gagasan pendidikan modern.
Charlotte sadar bahwa pendidikan modern yang materialistik itulah yang bakal memenangkan pertarungan dan menggulung pendidikan klasik. Dan kini kita merasakan dampak dari kehampaan pendidikan modern yang hanya berkonsentrasi mencetak anak didik menjadi pekerja dan pencari nafkah. Sekolah-sekolah tak lebih dari arena pamer pemburuan ambisi dunia milik, materi. Suatu pendidikan yang dikendalikan oleh kepentingan ekonomi. Termasuk pelatihan minat-bakat, juga bermuara untuk kemudahan mendapatkan lapangan pekerjaan.
Charlotte jauh-jauh hari, ratusan tahun yang lalu, telah meramalkan dampak pendidikan yang semata mengejar kebutuhan duniawi itu. Maka, harus ada keberanian dari kita saat ini untuk beralih pada pendidikan klasik. Yakni pendidikan yang dirancang untuk membentuk kebiasaan-kebiasaan baik (education is a discipline), sekaligus menyuplai benak anak dengan gagasan-gagasan luhur (education is a life). Pendidikan yang disusun untuk menyusuri akar kesejarahan dunia, hingga berkaitan jati diri dan sejarah tempat di mana kita tinggal. Pendeknya, pendidikan adalah habit training dan pasokan living books.
Lantas bagaimana mengenali living books? Tak ada teori njlimet, cukup ambil buku dan bacalah! Begitu kita mendapati bacaan yang tidak terlalu mudah dipahami, juga (sekaligus) tidak terlampau sukar. Nah, itulah living book. Ia berpondasi pada kekuatan bahasa.
Kemudian narasi. Ini juga yang hangat jadi perbincangan di kalangan Charlotte Mason (terutama pemula). Narasi adalah kemampuan menceritakan kembali dengan sentuhan personal bahasanya sendiri. Narasi adalah alat ukur bahwa informasi yang masuk ke dalam benak telah menjadi pengetahuan. Ada laku mengetahui, karena narasi bukan hafalan.
Demikian kiranya, betapa lahan atmosfer telah siap, dan tanaman memekar. Kita telaten menyirami dengan pembiasaan baik. Memupuk dengan kompos living. Dan, satu hal lagi, menyiangi hama gawai. Insya Allah.
Ungaran, 16/11/2021
Baca juga: Sekolah Tomoe
0 Comments