Review Identitas Politik Pak Kunto (1)
Dalam bukunya, Identitas Politik Umat Islam, Dr. Kuntowijoyo mengungkap bahwa urusan duniawi dan ukhrawi itu saling terkait. Sebagaimana doa “sapu jagad” rabbana atina fiddun-ya hasanah wa fil akhirati hasanah. Ada berkelanjutan antara kepercayaan dan kebajikan. Antara iman dan amal saleh. Hablun minallah wa hablun minannas.
Dari situ, almarhum guru besar sejarah UGM mengandai, sedianya umat Islam terselamatkan dari sekularisasi subjektif dan objektif. Sekularisasi subjektif adalah pemutusan pengalaman keagamaan dengan pengalaman sehari-hari. Sementara sekularisasi objektif terjadi tatkala dalam kenyataan sehari-hari agama sudah dipisahkan dari gejala yang lain, dari ekonomi, dari politik, dari kerja-kerja kebudayaan, dan seterusnya.Islam tak semata “agama” yang sebatas urusan akhirat. Tap Islam juga sebuah komunitas tersendiri, yang memiliki pemahaman, kepentingan dan tujuan politik yang hendak diwujudkan. Islam, selain kukuh dengan ritual ibadah mahda, juga mengetengahkan konsep pemihakan, terkait siapa dan kelompok mana yang mesti dibela, yaitu kaum dhu’afa dan mustadh’afin.
Kuntowijoyo menyebut dhu’afa sebagai kemiskinan, yakni kesenjangan natural, kesenjangan alamiah. Suatu perbedaan keadaan yang terjadi secara alamiah, atau lazim disebut sunnatullah. Bahwa akan berbeda, seseorang yang dilahirkan dekat jalan raya besar dengan yang dilahirkan di pulau terpencil. Bahwa akan berbeda, yang kebetulan dilahirkan dari rahim keluarga kaya dengan yang dilahirkan dari keluarga miskin.
Menurut Pak Kunto, sapaan Kuntowijoyo, yang diperlukan untuk mengatasi kesenjangan alamiah adalah terbukanya kran mobilitas sosial. Zakat, infak, serta shadaqah efektif mengatasi kemiskinan. Dan jenis politiknya: tidak adanya campur tangan negara dalam urusan keagamaan.
Selanjutnya, istilah mustadh’afin sebagai kesenjangan struktural, atau cukup disebut kesenjangan. Berbeda dengan kemiskinan, di mana negara tidak campur tangan dalam urusan agama, menghadapi kesenjangan justru diharuskan adanya campur tangan aktif dari pemerintah. Karena latar kesenjangan berbeda dengan kemiskinan.
Kesenjangan mengemuka adanya campur tangan kekuasaan yang memuluskan proyek-proyek kepada pemodal besar. Adanya pilih kasih terhadap konglomerat dan cukong berkantong tebal dengan kelompok usaha menengah dan kecil.
Oleh karenanya, umat Islam berkepentingan dengan keberadaan sistem politik yang meniscayakan transparansi kekuasaan, dan manajemen yang rasional.
Dari buku Identitas Politik Umat Islam, kita ketahui Pak Kunto sungguh prihatin dengan pendekatan para politisi muslim yang cenderung emosional. Politik yang tidak rasional, yang tidak membawa misi kesadaran nilai, dan kepentingan material umat Islam. Umat hanya dijadikan sebagai penyumbang suara, yang kemudian sama sekali tak tersentuh kebutuhan riil mereka.
Ada cara baru berpolitik yang diajukan Pak Kunto, pertama, dari abstrak ke konkret. Al-Quran, kitab utama umat Islam, menempatkan yang konkret itu di tangga yang mulia. Surat Al-Maun, misalnya, jelas berisi di antaranya hukuman neraka bagi orang yang melupakan anak yatim, dan kelompok miskin.
Dalam surat An-Nisa: 75, malah lebih tandas Tuhan mengkritik kenapa umat Islam tidak mau berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang lemah, dan kaum tertindas.
Kehidupan material itu fitrah yang tak boleh diabaikan. Seseorang tidak boleh meninggalkan keluarga hanya karena hendak sepenuhnya beribadah pada Tuhan. Bahwa kesempurnaan itu tidak berarti dengan meninggalkan dunia. Bahwa mengusung identitas Islam itu tidak berarti hanya dengan meneriakkan seruan moralitas, berulang kali melantangkan kata “takwa”, tapi abai dengan kepentingan petani, buruh, dan masyarakat tertinggal lainnya.
Politik Islam pun mesti menangani masalah golongan bawah. Politik Islam harus mengangkat isu-isu konkret seperti penggusuran, pengusiran pedagang kakilima, penambangan semen yang sewenang-wenang, perusakan pesawahan, lahan hutan, dan soal ketimpangan UMR.
Politisi muslim wajib menyadari bahwa mereka-mereka yang berada di pinggiran itu bukan kemauan sendiri, melainkan oleh sebab-sebab alamiah, dan sebab-sebab structural.
Kedua, dari ideologi ke ilmu. Pak Kunto memampar bahwa pergeseran dari ideologi ke ilmu, tidak berarti pendekatan akhlak harus ditinggalkan. Karena akhlak bagi umat Islam adalah substansi. Tapi, para pelaku politik itu memahami bahwa pendekatan ideologi akan kesulitan menghadapi kenyataan di negeri ini.
Ideologi-ideologi, apa pun itu, terlalu kaku menghadapi kenyataan. Kenyataan ditafsirkan sesuai kaidah-kaidah yang diyakini sebagai kebenaran. Berbeda dengan pendekatan ilmu, yang melihat kenyataan sebagai kenyataan. Kenyataan otonom dari kesadaran pemandangnya.
Ketiga, dari subjektif ke objektif. Perubahan yang mengandaikan pengakuan sepenuhnya bahwa pluralisme itu nyata-nyata hidup. Senyatanya ada secara objektif, terlepas kita setuju tak setuju, suka tak suka. Pengakuan sepenuh pikiran dan perasaan bahwa agama di luar Islam itu ada dan bertumbuh, terlepas dari pendapat subjektif tentang agama tersebut.
Apa pun pendapat agama-agama di luar Islam, tentang diri mereka sendiri, tentang baik dan buruk, tentang benar dan salah, tentang interpretasi mereka atas kitab suci mereka, bahkan tentang kenyataan pasca-dunia, bukanlah urusan umat Islam.
Jadi, cara berpikir objektif tidak memerlukan pertimbangan-pertimbangan teologis dari kita, kaum muslim. Agama-agama seperti Katolik, Kristen, Hindu, Budha, dan yang lain, tidak memerlukan pembenaran teologis secara Islam untuk menjamin keberadaan mereka di bumi Zamrud Khatulistiwa ini. Agama-agama itu ada secara objektif, cukuplah bagi umat Islam sebagai bukti. Kita tidak perlu repot mengorek-orek dalil pembenar dari kitab suci Al-Quran atau Sunah untuk mengakui eksistensi nonmuslim.
Cara berpikir objektif juga meniscayakan kemauan mengendalikan egosentrisme Islam. Meski Islam menjadi umat mayoritas di negeri ini, tidak berarti bebas berlaku sewenang-wenang dalam berpolitik. Tidak asal menegakkan “syariat” Islam, hukum Islam. Ingat, pada waktu Nabi Saw. dan para sahabat masuk dan menguasai kembali kota Mekah, mereka justru diperintahkan untuk bertasbih, memuji Tuhan, dan beristighfar, sebagaimana termaktub dalam surat An-Nashr: 3.
Begitulah, singkat kata, kita membutuhkan politik yang rasional, bukan emosional.
Ungaran, 12/11/2021
0 Comments