Saya bayangkan berjilid-jilid living books berjajar khidmat di rak perpustakaan saya. Kini baru ada beberapa buku, di rak perpustakaan, yang masuk daftar living books. Saya peroleh dari pameran buku, kado ulang tahun, hibah dari seorang karib, toko online, atau langsung beli di Gramedia di Kota Semarang.
Living books begitu melekat di hati para praktisi Charlotte Mason (CM). Saya rasai betul, mereka sedemikian antusias tatkala ada pameran buku. Mereka juga saling kirim kabar sekira ada obral buku di Gramedia, biasanya tiap akhir tahun. Dan, satu hal lagi yang menarik, mereka kerap menawari siapa saja yang minat ketika akan menggandakan buku lawas plus langka di peredaran pasar buku, yang terendus sebagai living books.Living books sungguh mati sedemikian rupa menjadi trending topic di tengah obrolan para peminat CM. Bersyukur, saya bisa berada di antara dan turut menyimak percakapan mereka. Saya pun sadar, tak ada seujung kuku dibanding mereka-mereka yang sedemikian dalam menjiwai buku.
Nah, saya bayangkan perpustakaan yang saya punya ini berjejer living books. Sebab, saya tahu banget, hingga saat ini penggiat literasi dengan pelbagai modus gerakan, belum melirik living books sebagai kebutuhan bacaan. Belum menjadikan menu pilihan yang akan dihidangkan ke pembaca. Bahkan sekadar memajang di media sosial pun belum. Mereka masih terjebak di wilayah “minat baca” dan asal penyediaan bacaan, bukan di ranah “baca apa”. Masih mending, memang. Dan, mereka tidak salah.
Apalagi, kalau ditilik di tingkat kebijakan politik, serasa belum ada gereget untuk menghadirkan living books. Indikasinya sederhana, buku-buku lokal yang beredar di pasaran masih berasa garing. Baru sedikit tepatnya. Kami masih harus berjibaku memamah living books dari buku-buku terjemahan. Dan, begitu melirik ke dalam, ke buku-buku karya anak negeri, justru buku-buku lawas yang terbit sebelum tahun 70-an, atau mentok awal 80-an, yang layak living. Di mana buku-buku tersebut, lagi-lagi sudah tak beredar umum. Penerbitnya tutup. Dan, buku-buku itu hanya berkeliling di antara tangan para penggila buku. Para pemburu buku antik.
Saya pernah, suatu waktu pada acara kunjungan pimpinan puncak legislatif pusat, berkesempatan mengutarakan perihal kelesuan mutu buku dan perlunya menerbitkan ulang buku-buku lawas yang bercorak sastrawi. Ide diterima, sudah tiga tahun silam, tapi hingga hari ini tak kunjung wujud.
Akhirnya, sudahlah. Memang harus dari diri sendiri yang bergerak. Tidak usah berharap banyak akan kebaikan dari pemangku kebijakan. Dan, sekali lagi, saya beruntung ada di tengah komunitas yang sedemikian rupa menggilai buku berbobot. Menginisiasi gerakan kurasi buku-buku mutu dari luar negeri. Sehingga, masygul hati saya melihat potret politik terobati.
Syahdan saya pun membayangkan Burung-Burung Manyar Y.B. Mangunwijaya, satu dari beberapa karya anak negeri yang bermutu tinggi, berdiskusi dengan Angsa-Angsa Liar Jung Chang. Mereka saling sanggah. Lantas dapat peneguhan filosofi dari Dunia Sophie Jostein Gaarder. Juga pemikiran inklusif Islam Doktrin dan Peradaban Cak Nur yang beratus halaman itu bertemu dengan Rekonstruksi Pemikiran Religius milik Sir Muhammad Iqbal, filsuf profetik asal India, dan Catatan Pinggir Goenawan Mohamad. Sungguh asyik!
Saya membayangkan Hans Christian Andersen tak lagi sendirian. Kisah Gadis Kecil dan Korek Api niscaya menemu gairah ketika bersenandung ria bersama Serial Rumah Kecil Laura. Juga The Secret Garden, atau Heidi, terhibur oleh tingkah tengil Pinocchio, juga berkat karya-karya Mark Twain atau Charles Dickens. Si Itik dalam sangkar Itik Kecil Buruk Rupa tak akan terus-terusan merasa terundung ketika bercanda dengan Charlotte dan Wilbur dalam Charlotte’s Web.
Benar, saya bayangkan sebuah musyawarah living books, sebagaimana Khaled Abou El Fadl yang sukses menyusuri keindahan Islam dari kitab ke kitab, mewujud di perpustakaan saya. Ya, namanya saja membayangkan, tentu di waktu ini belum wujud di sanggar kami, Of the Book.
Semoga nanti.
Ungaran, 23/10/2021
0 Comments