Dalam hikmah pertama, Syekh Ibnu ‘Athaillah mengkritik kelaziman kita yang lebih bersandar kepada kemampuan sendiri ketimbang berserah diri kepada Tuhan, “Salah satu tanda jiwamu bergantung pada kemampuan diri adalah kecilnya hatimu berharap akan pertolongan Tuhan ketika engkau gagal.”
Kondisi yang demikian, bukankah tanpa sadar kita telah menyekutukan Tuhan? Sebab, sukses tidaknya keseharian hidup ini, kita sandarkan kepada seberapa serius kita berusaha secara lahiriah. Kita bertumpu pada ungkapan, “usaha tidak akan mengkhianati hasil.”Padahal Nabi Saw. bersabda, “Seseorang di antara kamu tidak akan masuk surga dengan amalnya.” Para sahabat bertanya, “Engkau juga tidak, Wahai Rasulullah?” Nabi Saw. menjawab, “Aku juga tidak, kecuali Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadaku.”
Syahdan, kebergantungan kepada-Nya merupakan bukti kita bermakrifat kepada Allah. Adapun cirinya, harapan kita kepada Allah tidak berkurang tatkala jatuh dalam kegagalan, dan juga harapan tidak bertambah ketika meraih sukses. Senang susah tiada beda, karena toh hakikatnya semua berkat Dia yang Mahakehendak.
Nah, dalam tradisi tasawuf, laku syariat “Islam” itu untuk membereskan anggota badan dengan cara menjauhi larangan dan mematuhi perintah. Laku tarekat “iman”, membereskan hati dengan cara mengosongkannya dari kotoran-kotoran hati dan menghiasinya dengan keutamaan. Dan, laku hakikat “ihsan” sebagai upaya mengasupi jiwa atau ruh, yakni menyadarkan diri dan merespon perintah-Nya yang ada di balik setiap yang ada.
Hikmah berikutnya, “Keinginanmu untuk ber-tajrid, ketika Allah menempatkanmu dalam asbab, berasal dari syahwat yang samar. Dan, keinginanmu terhadap asbab, ketika Allah menempatkanmu dalam tajrid, merupakan kemunduran dari kehendak yang tinggi.”
Dalam syarahnya, Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi menjelaskan, ada dua kondisi yang dihadapi manusia. Pertama, manusia yang bingung di bawah kendali, yang mengharuskannya melakukan usaha lahiriah. Disebut kondisi asbab, yakni usaha-usaha lahiriah. Kedua, manusia terasing dari kondisi usaha-usaha lahiriah dan tidak menemukan jalan ke sana. Manusia jenis ini di tempatkan Allah untuk lepas dari usaha lahiriah. Itulah kondisi tajrid.
Syekh Said Ramadhan mengamarkan, sedianya kita kaum beriman ini berusaha menjalankan perintah-Nya dengan memperhatikan kondisi di mana Tuhan menempatkan kita. Beliau mencontohkan, ada sekelompok orang menuju baitullah untuk berhaji. Sebagian dari mereka, memang bebas dari ikatan, beban, dan tanggung jawab duniawi. Sehingga, mereka bisa menjalani ibadah haji sepenuh hati. Mereka ini berkondisi tajrid.
Ada pula, sebagian merupakan para dokter yang mesti berjaga untuk mengatasi kesehatan jamaah haji. Kelompok ini menggeluti usaha-usaha lahiriah, menjaga kesehatan dan mengobati jamaah yang sakit. Mereka berperan dalam asbab. Jika saja, yang sedang memikul tanggung jawab sebagai tim medis itu melalaikan tugasnya, misal lebih memilih menghabiskan waktu untuk tawaf, sai, dan salat-salat sunah, membaca al-Quran, dan seterusnya, maka, bisa dipastikan justru syahwatlah yang bekerja, bukan demi Allah.
Nah, coba kita telisik, sedang dalam kondisi apakah kita: tajrid atau asbab? Parameternya gampang, kala kita ditempatkan pada wilayah asbab, kita bisa istikamah menetapi asbab, juga istikamah menegakkan berbagai kewajiban syariat. Maka, bersabarlah, pasrah dan penuh rida. Kemudian, kala kita ditempatkan pada tajrid, niscaya gampang menunaikan kewajiban dan berpaling dari makhluk, berpaling dari keinginan-keinginan sesaat. Maka, bersyukurlah, banyak beramal, dan tidak lalai.
Untaian hikmah Syekh Ibnu ‘Athaillah selanjutnya, “Gejolak jiwamu yang meluap-luap (untuk menggapai cita-citamu) tak akan mampu menerjang benteng kokoh keputusan Tuhan.”
Keputusan/takdir Tuhan di situ bak dinding atau benteng kokoh, yang tak tertembus oleh kekuatan apa dan dari mana. Seolah seruan untuk tidak memaksa diri. Karena daya dan kekuatan toh sesungguhnya milik Allah. Bahwa berhasil tidaknya sebuah usaha-usaha lahiriah, bukan dari kerja keras manusia, melainkan sepenuhnya keputusan Tuhan.
Kewajiban kita, terutama yang berposisi di maqom asbab, adalah semata berikhtiar itu sendiri, bukan sampainya kita pada yang diupayakan. Sampai tidaknya kepada hasil adalah urusan Tuhan, adalah takdir Tuhan.
Hal ini kemudian ditegaskan di hikmah, “Istirahatkan jiwamu dari lelahnya urusan sehari-hari duniawi. Bila Yang lain (Tuhan) telah bertindak untukmu, tidak sepatutnya engkau ikut serta mengerjakannya.”
Tapi, jangan salah kaprah. Sebab, bukan berarti kita berlepas tanggung jawab, sekira kita berada pada posisi asbab, karena maksud “mengistirahatkan jiwa dari lelahnya urusan sehari-hari” tidak berkaitan dengan kewajiban berusaha/bekerja.
Bagi Syekh Said Ramadhan, mengistirahatkan jiwa adalah aktivitas pikiran dan keputusan akal. Sehingga jelas, kenapa kata yang dipilih “istirahatkan jiwa” bukan “istirahatkan tubuh”. Sebab, sekali lagi, mengupayakan sebab, berupa usaha fisik lahiriah, itu diperintahkan. Sementara, mengatur-atur hasil usaha lahiriah, yang sumbernya adalah hati dan pikiran, itu yang dilarang.
Oleh karenanya, misal saya saat ini, bekerja sebagai penulis, jika ada yang bertanya, “Apa yang Anda harapkan pada saat dan setelah melakukan kerja kepenulisan ini?” Maka jawab saya, “Ini adalah bagian dari kewajiban yang diperintahkan Allah. Saya menjalaninya sebagai perintah. Lantas apa yang akan diperbuat Allah pada saat dan setelah saya melakukan ini, ya, terserah Tuhan. Saya menyerahkan sepenuhnya kepada ketentuan-Nya, dan rida dengan kebijaksanan-Nya.”
Begitu.
Ungaran, 28/10/2021
Baca juga: Koleksi-koleksi Kitab Hikam
0 Comments