Martin Suryajaya benar-benar gokil. Saya pun, sebagaimana para pembaca Terdepan, Terluar, Tertinggal: Antologi Puisi Obskur Indonesia 1945-2045, selanjutnya saya tulis 3T, tak bisa membendung tawa. Kok terpikir ya, untuk bikin antologi puisi dengan banyak penyair fiktif. Dan, gilanya lagi, Martin menyuguhkan biografi singkat para penyair, seakan-akan mereka memang ada. Terkecuali nama Ida Nasution, penyair pertama yang ditampilkan Martin, itu bisa dilacak kehadirannya, dan ia memang kekasih Chairil Anwar, tapi yang lain: fiktif.
Namun, meskipun puisi-puisi ditulis sebagai milik penyairnya, 3T tetaplah antologi puisi Martin. Dalam buku itu, Martin seperti menjelma menjadi 18 orang, plus seorang Sulaiman H, editor fiktif. Jadi praktis keseluruhan isi buku itu berwarna fiksi. Bagaimana tidak, Sulaiman H, sang editor, menceritakan kerja pengumpulan dan menyunting puisi-puisi pada tahun 2045. Persis karya dia sebelumnya, novel Kiat Sukses Hancur Lebur, kata pengantar editor tertulis nama Andi Lukito, 25 April 2025.Lebih gamblang, Martin menjelaskan bahwa saat menulis 3T, ia berdiri di antara dua kecenderungan puisi. Kecenderungan pertama, karya puisi sebagai cerminan dari perasaan penyair. Yang kedua, karya puisi itu berjarak dengan “sang aku” penyair, berdiri sendiri.
Martin mencoba menempatkan para penyair dalam “damba” mereka masing-masing. Martin hendak menyuguhkan bahwa terkadang riwayat hidup si penyair lebih indah ketimbang karya puisinya. Kemalangan penyair lebih menggugah perasaan daripada karyanya. Ambisi besarnya lebih hidup untuk disajikan. “Ada yang pengin masuk kanon, tapi kok nggak bisa-bisa.” selorohnya. “Maka, saya menulis 3T ini, agar kita bisa menikmati tidak semata karya puisi, tapi juga riwayat hidupnya. Karena acap karyanya tidak puitis, tapi hidupnya jauh lebih puitis.”
Dan memang, tidak jarang saya saksikan, tak sedikit teman-teman yang terus berusaha berkarya tanpa memedulikan dirinya sendiri. Mereka terus-menerus menulis puisi, walaupun jelas-jelas karya mereka luput dari perhatian Badan Bahasa atau Dewan Kesenian, bahkan sekadar masuk laman media sosisl pun tidak.
Nah, saya sangat menikmati antologi puisi Martin ini, sebab saya merasa, bersama 3T, Martin berlaku sebagai kritikus sastra, yang turut merasakan bela rasa terhadap yang tersisih. Martin prihatin kepada penyair-penyair di mana pun saja yang berusaha mati-matian, tapi tetap saja berada di ranah terdepan, terluar, dan tertinggal. Penyair-penyair yang mustahil dikenal murid-murid sekolah lantaran tidak masuk deretan penyair di pelajaran Bahasa Indonesia.
“Dia mencurahkan segalanya untuk sastra Indonesia, tapi tiada satu pun pemangku sastra yang memedulikan nasib hidupnya. Maka, saya menulis 3T ini sebagai bela rasa kepada mereka yang tidak terekam sejarah.” ungkap Martin.
Waktu peluncuran buku 3T di sebuah kedai, Berto Tukan, salah satu pemrasaran, mengatakan bahwa karya Martin itu sebuah novel, sebagaimana Kiat Sukses Hancur Lebur, bukan karya puisi. Jelasnya, Martin mencipta tokoh Sulaiman H mengumpulkan puisi-puisi terbuang, puisi-puisi yang jauh dari beruntung. Berto tegas-tegas menolak 3T sebagai antologi puisi.
Namun, ya, apa pun persepsi orang atas 3T, saya terhibur. Kiat Sukses Hancur Lebur telah bikin kepala pusing, karena terbius menamatkan, atau sontak berhenti. Nah, 3T juga demikian, menjebak saya selaku pembaca dihadapkan pada pilihan: seketika tidak meneruskan, atau sebaliknya terus menyuntuki sembari tertawa-tawa: “Asu Martin!”
0 Comments